Jauh di negeri
orang, mandiri, siap mental, niat, dan tekad. Mungkin tak semua orang bisa dan
mampu melaluinya. Bagi sebagian orang mrantau bisa menjadi momok yang
menakutkan. Tak hanya bagi yang akan prgi mrantau, tapi bagi yang ditinggal
merantau memiliki lebih banyak kekhawatiran, terutama bagi seorang ibu yang
melepas anaknya pergi jauh ke negeri orang. Walau tak secara lisan kekhawatiran
itu diungkapkan tapi dari raut wajah dapat tergambarkan kegelisahan itu.
Di keluarga
saya, kedua orang tua membebaskan kami memilih apa yang kami inginkan, sukai,
dan yang ingin kami lakukan selama itu tak melanggar norma dan nilai yang ada
dalam masyarakat, termasuk dalam hal ini tentang pendidikan. Itu sebabnya sejak
SMA kami telah disekolahkan jauh dari kampung halaman. Mulai dari saya yang
kuliah di luar Sulawesi Tengah, adik perempuan saya yang kuliah di Jogja, dan
adik perempuan saya yang satu lagi yang melanjutkan di MAN di Makassar. Kami
disekolahkan jauh dari kampung halaman dengan harapan agar dapat mandiri dan
berhasil. Rumah yang tadinya ramai kini mulai sepi. Adik-adik saya hanya bisa
pulang setahun sekali yaitu pada saat bulan puasa dan bahkan kadang dua tahun
sekali baru bisa pulang. Saat melihat ibu, saya tahu beliau kesepian. Terselip
rasa bersalah karena harus meninggalkannya jauh disaat usianya sudah tak lagi
muda. Usia dimana dia sangat ingin berada dekat dengan anak-anaknya, mengisi
rumah dengan suara pertengkaran kami atau suara gelak tawa kami saat bercanda.
Kini, sekali
lagi ibu mengikhlaskan anak laki-laki satu-satunya pergi menuntut ilmu ke
negeri yang jauh. Jarak yang ditempuh tak main-main. Beda negara, beda benua,
beda budaya, beda bahasa, beda suhu dan iklim. Harapan saya sebagai seorang
kakak yang juga mewakili perasaan seorang ibu, semoga dia dapat berbaur,
beradaptasi, dan menjalaninya dengan baik. Semoga sukses dengan pendidikanmu,
dek. Sehat selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Jejak Anehmu.
Silahkan berkomentar ^_^.
ありがとう、Terima Kasih