Setelah wisuda, hal lain harus dipenuhi. Tak bisa selamanya
bergantung pada orang tua. Tipe-tipe mahasiswa sekarang dalam hal kemandirian
dalam mengurus dirnya sendiri itu hanya 2 tipe. Tipe pertama, mandiri dalam
membiayai hidupnya tanpa harus sering bergantung pada uang orang tua. Tipe kedua,
sepenuhnya dibiayai oleh orang tua.
Belum lama ini saya mengurus legalisir ijazah bersama salah
seorang teman saya dan yang membuat saya kaget setengah mati adalah legalisir
ijazah ataupun transkrip nilai dikenakan biaya Rp. 5000/lembar. Berikut
percakapan sigkatnya di bawah ini.
Teman: “Sudah mi ko
legalisir ijazahmu?
Saya : “Belum pi, lupa
ka kalau harus legalisir ijazah”.
Teman: “Ayok mi, sama
ki pade pergi legalisir. Mandi mo ko supaya sama ki pergi ke BNI membayar”.
Saya : “Oke deh, pergi
ka mandi dulu. Apa mau dibayar?
Teman: “Legalisir
ijazah toh?...
Saya : ”Membayar kalo
legalisir ijazah?
Teman: “iyo, harus ki
bayar. Nda ko tau kah kalo harus ki bayar orang? Lima ribu satu lembar”.
Saya : “Iya. Baru ka
tau ini. Hahahahha….shock ka dengar. Serius ko harus ki bayar?
Teman: “Iya, nda percayanya ini…Pergi mo ko mandi”.
Begitulah percakapan
singkat saya dengan salah seorang teman saya. sepanjang perjalanan ke BNI saya
tidak habis pikir. Lucu dan tak percaya… entah sejak kapan peraturan itu dibuat
dan dijalankan. Tapi, silahkan di hitung-hitung berapa banyak yang didapatkan
dari biaya legalisir tersebut. Perhitungan dimulai. Menurut perhitungan saya,
setiap mahasiswa minimal melakukan legalisir ijazah dan transkrip nilai
masing-masing 5 lembar. Legalisir dikenakan biaya Rp. 5000/lembar maka Rp.
5000x5= Rp. 25.000 x 2 = Rp. 100.000
Saya tidak pintar dalam matematika tapi minimal saya tahu
lah.hahaha… kita bisa langsung tahu
berapa banyak yang masuk. Belum lagi alumni sebuah kampus dalam sekali wisuda
itu jumlahnya ratusan bahkan mencapai ribuan. Saya tahu tanda tangan itu mahal
apalagi tanda tangan orang penting. Bahkan, ada yang sampai membingkai tanda
tangan untuk dipajang dan untuk dipamerkan. Saya tidak keberatan dikenakan
biaya tapi dengan syarat dana yang masuk setidaknya ditransparansikan. Tidak
lari buta dana tersebut tak tau kemana rimbanya. Ternyata biaya legalisir sudah
lama diterapkan tapi yang saya herankan entah kemana uang itu dilampiaskan.
Terutama di fakultas saya yang….hiikkss. Tak perlu disembunyikan, banyak
fasilitas yang tak bisa dipakai alias rusak. Hanya menjadi pajangan dalam ruang
kuliah dan lama dibiarkan seperti itu, tak diperhatikan. Mungkin demo dan suara
kritikan hanya dimasukkan dalam agenda rapat, dirapatkan tapi masih belum tahu
kapan realisasinya. Apakah saya terlalu naïf?
Bagaimana dengan kampus kalian?