Hujan
di hari pertama bulan Oktober yang ku sambut tak sebahagia seperti sebelumnya. Titik-titik
airnya masih mengguyur ketika Novel “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”
dari Tere Liye selesai ku baca. Seketika aku berterima kasih pada salah seorang
teman karena telah berbaik hati membagikan file pdfnya secara cuma-cuma. Novel
yang baru ku ketahui ketika selesai membacanya yang ternyata memiliki akhir
yang sangat tak ku sukai dan cenderung ku hindari. Aku tak menyukai kisah yang
berakhir dengan kesedihan. Meskipun di dunia ini tidak melulu hanya ada kisah
yang membahagiakan. Cerita yang mengingatkan pada pengalaman masa lalu. Dan
pada hari ini, aku memberanikan diri untuk menuliskan sesuatu untuknya. Menuliskan
sebuah surat yang memiliki kisah yang tak jauh berbeda. Ini bukanlah surat
cinta romantis. Aku hanya akan secara singkat menceritakannya. Karena aku tak
pandai berbasa-basi dan merangkai kata-kata indah. Kalian bisa menganggap ini
tulisan pada sesuatu yang nyata ataukah hanya fiksi semata. Baiklah, mari
mulai.
Pertemuanku
dengannya sekitar tiga tahun lalu. Lebih tepatnya, aku yang lebih dulu
melihatnya walau hanya sepintas lalu dan singkat cerita jadilah diriku disini,
menuliskan surat untuknya. Awalnya hanya sebatas suka dan kagum. Kemudian
berkembang menjadi sebuah perasaan yang luar biasa. Ini hanyalah ungkapan
perasaan sepihak dariku untuknya. Sedangkan dari dirinya, yang aku tahu dia
orang baik yang memperlakukan seluruh makhluk hidup dengan penuh kasih sayang.
Dengan kata lain, dia memperlakukan ku sama seperti yang lainnya. Spesial tapi
bukan dalam artian yang ku harapkan. Berada di sampingnya itu adalah sesuatu
yang mustahil. 1: 100.000.000 kemungkinan.
Hanya melihat dan memperhatikannya
dari jauh itu sudah lebih dari cukup. Rangkaian doa untuknya adalah bentuk
dukungan terbaik yang bisa ku berikan
ditengah segala keterbatasanku sebagai manusia. Analoginya mungkin
seperti ini, layaknya seorang yang begitu mengagumi idolanya dengan hanya
bermodalkan kuota seperti itulah diriku padanya. Menjadi yang spesial untuknya
itu hanyalah sebatas impian. Melihatnya membuatku merasakan bahagia sekaligus
sakit. Kenapa? Karena ini hanyalah impian yang berbatas. Melalui masa-masa ini
tidaklah mudah. Perang yang paling berat adalah memerangi ego diri sendiri. Menahan
diri tapi masih menyimpan barang miliknya. Melepaskan tapi tak tega membuang
pemberiannya. Lucu . . .
Dua
tahun berlalu, dan impian itu masih setia tersimpan dalam lemari angan-angan.
Menyusup sembunyi dalam lembaran-lembaran rencana masa depan. Melarikan diri
dari kejaran realita nan logis. Impian yang berbatas ini, akankah segera
menemui batasnya? Entahlah . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Jejak Anehmu.
Silahkan berkomentar ^_^.
ありがとう、Terima Kasih