Pages

Jumat, 13 Oktober 2017

IMPIAN BERBATAS

Hujan di hari pertama bulan Oktober yang ku sambut tak sebahagia seperti sebelumnya. Titik-titik airnya masih mengguyur ketika Novel “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” dari Tere Liye selesai ku baca. Seketika aku berterima kasih pada salah seorang teman karena telah berbaik hati membagikan file pdfnya secara cuma-cuma. Novel yang baru ku ketahui ketika selesai membacanya yang ternyata memiliki akhir yang sangat tak ku sukai dan cenderung ku hindari. Aku tak menyukai kisah yang berakhir dengan kesedihan. Meskipun di dunia ini tidak melulu hanya ada kisah yang membahagiakan. Cerita yang mengingatkan pada pengalaman masa lalu. Dan pada hari ini, aku memberanikan diri untuk menuliskan sesuatu untuknya. Menuliskan sebuah surat yang memiliki kisah yang tak jauh berbeda. Ini bukanlah surat cinta romantis. Aku hanya akan secara singkat menceritakannya. Karena aku tak pandai berbasa-basi dan merangkai kata-kata indah. Kalian bisa menganggap ini tulisan pada sesuatu yang nyata ataukah hanya fiksi semata. Baiklah, mari mulai.
Pertemuanku dengannya sekitar tiga tahun lalu. Lebih tepatnya, aku yang lebih dulu melihatnya walau hanya sepintas lalu dan singkat cerita jadilah diriku disini, menuliskan surat untuknya. Awalnya hanya sebatas suka dan kagum. Kemudian berkembang menjadi sebuah perasaan yang luar biasa. Ini hanyalah ungkapan perasaan sepihak dariku untuknya. Sedangkan dari dirinya, yang aku tahu dia orang baik yang memperlakukan seluruh makhluk hidup dengan penuh kasih sayang. Dengan kata lain, dia memperlakukan ku sama seperti yang lainnya. Spesial tapi bukan dalam artian yang ku harapkan. Berada di sampingnya itu adalah sesuatu yang mustahil. 1: 100.000.000 kemungkinan.
Hanya melihat dan memperhatikannya dari jauh itu sudah lebih dari cukup. Rangkaian doa untuknya adalah bentuk dukungan terbaik yang bisa ku berikan  ditengah segala keterbatasanku sebagai manusia. Analoginya mungkin seperti ini, layaknya seorang yang begitu mengagumi idolanya dengan hanya bermodalkan kuota seperti itulah diriku padanya. Menjadi yang spesial untuknya itu hanyalah sebatas impian. Melihatnya membuatku merasakan bahagia sekaligus sakit. Kenapa? Karena ini hanyalah impian yang berbatas. Melalui masa-masa ini tidaklah mudah. Perang yang paling berat adalah memerangi ego diri sendiri. Menahan diri tapi masih menyimpan barang miliknya. Melepaskan tapi tak tega membuang pemberiannya. Lucu . . .

Dua tahun berlalu, dan impian itu masih setia tersimpan dalam lemari angan-angan. Menyusup sembunyi dalam lembaran-lembaran rencana masa depan. Melarikan diri dari kejaran realita nan logis. Impian yang berbatas ini, akankah segera menemui batasnya? Entahlah . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak Anehmu.
Silahkan berkomentar ^_^.
ありがとう、Terima Kasih